Yofamedia.com, Jakarta - Kapal khusus angkutan ternak Camara Nusantara I (CN 1) merupakan salah satu wujud implementasi Tol Laut yang mengangkut ternak dari daerah sentra produsen ke daerah konsumen.
Fini Murfiani selaku Direktur Pengolahan dan Pemasaran hasil Peternakan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian menyampaikan, keberadaan kapal ternak bertujuan untuk mendukung program pemenuhan pangan asal ternak, dan menjamin kelangsungan pendistribusian ternak melalui angkutan laut dengan kaidah animal welfare dari Provinsi NTT sampai ke DKI Jakarta dan sekitarnya.
“Dengan adanya kapal ternak ternak ini kita harapkan distribusi daging sapi melalui angkutan laut lancar dan cepat”, kata Fini Murfiani pada acara diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Harian Bisnis Indonesia di Ballroom Emerald Red Top Pecenongan Jakarta hari Senin tanggal 16 Oktober 2017.
Keberadaan kapal ternak menurut Fini Murfiani merupakan tindaklanjut dari rekomendasi Badan Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, 2012) yang menyataka bahwa distribusi dan tataniaga sapi belum berjalan dengan baik dari daerah sentra produksi ke daerah konsumen.
Panjangnya rantai tata niaga ternak tersebut berdampak terhadap farm share (keuntungan) yang diterima peternak kecil. Biaya distribusi ternak dari daerah produsen ke daerah konsumen sangat tinggi terutama perdagangan antar pulau.
Selain itu juga belum terintegrasinya antara kegiatan produksi dengan kegiatan pasca panen dan pemasaran seperti pasar ternak, Rumah Potong Hewan (RPH), pasar ritel dan industri pengolahan dengan peternak/gapoktan/koperasi peternak dalam suatu sistem supply chain management yang baik.
Fini Murfiani menjelaskan, distribusi sapi potong dari daerah sumber ternak ke wilayah Jabodetabek umumnya menggunakan kapal kargo dan dilanjutkan dengan angkutan truk yang membutuhkan waktu cukup lama.
Menurutnya, kondisi pengangkutan hewan ternak dengan menggunakan kapal kargo penangannya belum maksimal, sehingga hewan ternak yang diangkut mengalami penyusutan bobot cukup besar umumnya mencapai 15% s.s. 22%.
Untuk meningkatkan bobot sapi diperlukan recovery/pemulihan, sehingga menambah biaya pengeluaran yang harus ditanggung pedagang dan akhirnya sebagai kompensasinya harga ikut dibebankan kepada konsumen.
Untuk itu, penataan tata niaga ternak menjadi perhatian utama pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, sehingga dapat mewujudkan peternakan yang berdaya saing dan mampu menyediakan bahan pangan asal ternak dari dalam negeri sendiri.
Lebih lanjut Fini Murfiani mengatakan, kapal ternak memiliki prospek bagus dan pengaruh positif sebagai salah satu komponen untuk mendukung pencapaian swasembada daging sapi karena:
Pertama, Adanya kepastian fasilitas transportasi laut yang reguler jadwalnya.
Kedua, Memenuhi aspek kesejahteraan hewan (animal welfare) karena kapal didesain dengan memenuhi standar Internasional;
Ketiga, Mengurangi penyusutan bobot sapi selama perjalanan;
Keempat, Menambah nilai nominal yang sampai ketangan peternak, sehingga lebih menggairahkan bisnis sapi. Selain itu juga diperkuat dengan program Upsus Siwab dapat meningkatkan populasi dan supply sapi lokal;
Kelima, Mulai terpantau dan terdokumentasinya pergerakan sapi dengan lebih baik;
Keenam, Membantu pendataan sapi (dengan memberikan prioritas pemanfaatan kapal ternak bagi pengguna kapal yang memberikan laporan rutin pemutahiran data).
“Kedepan dengan bertambahnya jumlah kapal ternak, dapat tersusun sistem pemantauan pergerakan sapi yang dapat membantu mengendalikan harga dan persediaan menuju ke sistem yang lebih efisien pada rantai niaga sapi”, ucap Fini Murfiani.
Menurut Fini Murfiani, setiap pelayaran CN1 mampu mengangkut ternak sebanyak 500 ekor dan di tahun 2017 pada pelayaran ke-15 tanggal 2 Oktober 2017 telah mengangkut ternak sebanyak 7.500 ekor.
“Animo pemanfaatan kapal cukup tinggi, sehingga jumlah 1 unit kapal yang sudah ada dirasakan kurang, hal ini terlihat dari 66.300 ekor target kuota pengeluaran ternak sapi dari NTT tahun 2017, Kapal ternak CN 1 hanya dapat mengangkut 12.000 ekor atau 18%”, kata Fini Murfiani.
Lebih lanjut dijelaskannya, pasokan sapi hidup yang berasal dari NTT dengan menggunakan kapal ternak dapat memperpendek rantai pasok distribusi sapi hidup, namun belum efektif dapat menekan harga di tingkat konsumen akhir.
Kebutuhan pemotongan ternak di DKI Jakarta tiap hari mencapai sekitar 650 ekor, yang terdiri dari sapi ex impor Brahman Cross 95% dan sapi lokal 5%.
Jika dikorelasikan dengan distribusi ternak melalui kapal ternak (1 unit kapal) dengan muatan 500 ekor per 2 minggu sekali maka kapal ternak baru berkontribusi 35 ekor per hari.
Fini berpendapat, dalam rantai tata niaga, kegiatan produksi dan pemasaran merupakan mata rantai yang tidak bisa dipisahkan sehingga perbaikan tata niaga ternak sapi dimulai dari perbaikan sektor hulu sampai sektor hilir.
“Perbaikan tata niaga sapi dan daging sapi diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para peternak dan menggerakan roda perekonomian pada sektor lainnya, sehingga dengan sendirinya mendorong para peternak untuk meningkatkan usaha peternakannya yang pada gilirannya akan meningkatkan populasi sapi dan produksi daging dalam negeri,” ungkapnya.
Untuk itu, Fini menyampaikan, pemanfaatan kapal ternak akan menjadi lebih efektif dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi di pasaran dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu:
Pertama, kontinuitas pengangkutan sapi hidup, frekuensi keberangkatan kapal yang lebih banyak, serta penambahan daerah sumber pasokan sapi yang potensial selain dari NTT seperti dari NTB, Sulawesi Selatan, Bali, Lampung dan Jawa Timur.
Kedua, diupayakan integrasi transportasi angkutan khusus ternak, tidak hanya moda angkutan laut saja namun juga diperlukan moda angkutan darat untuk lintas Jawa, seperti Kereta Api dan angkutan dari lokasi ternak ke pasar-pasar ternak.
Mengingat transportasi ternak membutuhkan spesifikasi khusus yang berbeda dengan barang lainnya.
Ketiga, penguatan kelembagaan peternak yang berbadan hukum, juga merupakan hal yang perlu disinergikan dengan kondisi iklim usaha saat ini, sehingga peternak mempunyai posisi tawar yang lebih baik di dalam pemasaran hasil peternakan
Keempat, dengan merevitalisasi RPH-RPH di daerah sumber ternak seperti NTT, NTB, Bali dan Lampung dengan fasilitas rantai dingin.
Adanya cold storage di RPH, maka daging dapat didistribusikan ke Jabodetabek dalam bentuk chilled dan frozen.
Pengangkutan daging frozen dan chilled dapat memanfaatkan kapal tol laut bersubsidi yang disediakan oleh Kementerian Perhubungan yang sudah memiliki kontainer berpendingin.
Kelima, perbaikan sistem pemotongan di RPH juga dilakukan dengan melakukan grading daging berdasarkan jenis potongan-potongan yang terstandar SNI.
Seekor sapi akan memiliki nilai tambah yang tinggi jika semua komponen pada seekor sapi tersebut dimanfaatkan dengan baik.
Keenam, mengoptimalkan pengawasan dan pemantauan dinamika ketersediaan dan pasokan melalui Integrasi Database dan jaringan nformasi peternakan dan kesehatan hewan yang dapat diandalkan.
Sistem ini melibatkan interaksi pengguna kapal dari mulai pengajuan rekomendasi pengeluaran ternak di Provinsi, penetapan pelaku usaha pengirim ternak sampai laporan penerimaan ternak dan perkembangan distribusi ternak di wilayah konsumen oleh perusahaan penerima ternak.
Dengan demikian diharapkan dinamika ketersediaan dan potensi pasokan kebutuhan daging di masyarakat dapat diketahui dengan akurat.
“Kami juga akan mendorong terlaksananya kerjasama dengan instansi terkait untuk operasional pemanfaatan kapal ternak berupa MoU sebagai kunci dari efektifitas pemanfaatan kapal ternak di dalam mendukung swasembada daging sapi”, tuturnya.
[Red].
Posting Komentar