Yofamedia.com, Jakarta - Pada hari Jumat 20 oktober tepat Tiga tahun kepemimpinan jokowi-JK dalam menjalankan pemerintahannya sebagai presiden dan wakil presiden.
Dalam kampanye politiknya Jokowi - JK mengusung jargon program kerja Nawacita dengan kerangka metode berpikir Revolusi mental.
Selama tiga tahun kepemimpinannnya Nawacita dan revolusi mental berjalan statis serta sulit memenuhi keinginan dan harapan masyarakat yang sudah terlanjur diberikan kepada mereka.
Ada beberapa aspek yang menjadi catatan kritis kami terhadap 3 tahin Jokowi-JK yakni:
A. Politik.
Pertama, Masih terjadi Rivalitas politik antara partai koalisi dan oposisi sebagai efek pilpres 2014 dan pemilihan gubernur DKI Jakarta yang sama sekali tidak mengarah pada pertarungan konsep atau gagasan dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur tetapi mengarah pada pengikisan budaya demokrasi dimana menguatnya sentiment politik fundamentalisme agama serta orientasi politik yang liberal kepada pemilik modal internasional (Word Bank, IMF, ADB).
Kedua, Negara yang mampu memberi rasa aman dan melindungi segenap bangsa Indonesia sebagai salah satu poin nawacita belum mampu direalisasikan oleh pemerintah.
Faktanya Negara dengan orientasi pasar bebas dalam melindungi kepentingan modal mengorbankan masyarakat Indonesia mulai dari konflik agraria, tindakan represif aparat terhadap gerakan rakyat (mahasiswa, buruh, jurnalis, petani, masyarakat adat, Kaum miskin kota), Persoalan TKI, perkusi, penuntasan kasus pelanggaran HAM, Tingkat pelecehan dan pemerkosaan semakin tinggi, kasus bunuh diri, PHK buruh, Upah Murah.
Ketiga, Belum mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berkeadilan dengan berbagai persoalan. Mulai persoalan pembentukan hak angket KPK, Kasus korupsi 33 kepala Daerah, penuntasan kasus megakorupsi (Bank century, BLBI, E-KTP, Hambalang),
B. Ekonomi.
Pertama, Membengkaknya utang luar negeri Indonesia mencapai Rp. 3.886 triliun per akhir September yang bertambah sebesar Rp. 1.282 triliun dihitung dari tahun 2014.
Pertambahan Utang luar negri bangsa Indonesia sudah cukup mengkhawatirkan dan pemerintah sudah terjebak dalam situasi fisher paradox dimana semakin melunasi utang luar negri beserta cicilan bungannya maka semakin besar mengakumulasi utang karena Negara tidak sanggup membayar utang dengan keuangan Negara tetapi membutuhkan utang baru.
Akhirnya bangsa ini terjebak dalam perangkap utang (debt trap) sehingga kedaulatan dan kemandirian bangsa menjadi terancam serta bangsa Indonesia akan patuh & tunduk menjalankan kepentingan negara – negara pendonor/pemberi utang.(Word bank, IMF, ADP).
Kedua, Pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,1% yang tidak berkeadilan dan linear dengan pembukaan lapangan pekerjaan, pengurangan tingkat kemiskinan, peningkatan kesejahteraan rakyat tetapi menyebabkan tingkat ketimpangan ekonomi yang memprihatinkan, Daya beli masyarakat menurun, pengusaha gulung tikar lantaran masih mengadopsi system ekonomi liberal dengan mengedepankan investasi seluas-luasnya.
Ketiga, Pemerintah menyerahkan layanan public pada mekanisme pasar seperti pendidikan, kesehatan, Listrik, Air bersih, penyediaan rumah yang menyebabkan diskriminasi dan segmentasi yang mengarah pada kemerosotan kualitas hidup rakyat.
C. Pendidikan dan Budaya.
Pertama, Sistem pendidikan Indonesia masih mengabdi pada akumulasi capital sebagai komoditas bisnis bukan pada peningkatan kualitas manusia yang akan menyokong cita-cita pendidikan
Kedua, Masih banyaknya anak Indonesia yang susah mengakses pendidikan bahkan tidak mengenyam pendidikan yang disebabkan oleh factor ekonomi serta semakin mahalnya biaya pendidikan
Ketiga, Pembangunan infrastruktur pendidikan dan kualitas tenaga pengajar di daerah pinggiran dan perkotaan yang belum merata
Keempat, Adanya pembungkaman dan kriminalisasi terhadap suara-suara kritis mahasiswa didalam kampus serta pelarangan terhadap mahasiswa untuk berorganisasi.
Kelima, Visi besar Jokowi-JK melakukan revolusi karakter bangsa melalui revolusi mental hanya sebatas jargon belum memiliki konsep kognkret.
Keenam, Kurang perhatiannya pemerintah terhadap karya- karya dan peninggalan budaya nasional.
Ketujuh, Tereduksinya budaya dan semangat gotong royong sebagai akibat dari budaya liberalisme.
Dalam momentum 3 tahun Jokowi – JK maka kami secara organisasional menyatakan sikap sebagai berikut :
Pertama, Harus adanya satu platform bersama yang berlandaskan pada pancasila dan UUD 1945 dalam proses penyelamatan bangsa dari menguatnya gagasan neoliberalisme dan fundamentalisme agama.
Kedua, Mendesak pemerintahan Jokowi – JK untuk segera menyelesaikan persoalan konflik agraria, perkusi, Tindakan diskriminasi terhadap gerakan demokrasi, perlindungan TKI, Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu agar Negara bisa memberikan perlindungan terhadap seluruh tumpah darah Indonesia.
Ketiga, Wujudkan pemerintahan yang bersih dengan memperkuat lembaga pemberantasan korupsi dari kepentingan politik serta menyelesaikan kasus megakorupsi.
Keempat, Mendesak pemerintahan Jokowi – JK untuk kembali kejalan TRISAKTI dalam mewujudkan kedaulatan politik, Kemandirian Ekonomi serta Kepribadian dalam budaya
Kelima, Hapus dan putihkan utang luar negeri sebagai penyebab negara tidak bermartabat, berdaulat serta memiliki kemandirian dalam bidang ekonomi.
Keenam, Hentikkan liberalisme ekonomi dan laksanakan pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ekonomi nasional dalam mengatasi ketimpangan social dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Ketujuh, Hentikkan privatisasi dalam pemenuhan hak dasar rakyat di bidang pendidikan, kesehatan, Air minum , kebutuhan sandang pangan.
Kedelapan, Laksanakan skema pajak progresif yang berkeadilan serta tegakkan hokum seadil-adilnya kepada para pengemplang pajak.
Kesembilan, Hentikkan komersialisasi pendidikan dengan mengembalikan tanggung jawab Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta merombak kurikilum pendidikan yang tidak berorientasi pada pasar tetapi sebagai penyokong cita-cita dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Kesepuluh, Hentikkan pembungkaman terhadap suara-suara kritis mahasiswa dengan mewujudkan pendidikan yang ilmiah dan demokratis.
Sebelas, Revolusi mental jangan hanya sebatas slogan tetapi harus dikonkretkan lewat praktek dengan membangun keteladanan dari penyelenggara Negara yang hidup sederhana,merombak mentalitas dan cara berpikir manusia yang linear dengan perombakan struktur ekonomi serta menjadikan lembaga pendidikan sebagai ujung tombak Revolusi Mental.
[Red/Why].
*Mengetahui Pengurus Eksekutif Nasional LMND :
Indrayani Abd.Razak (Ketua Umum)
Muhammad Asrul (SEKJEND)
Posting Komentar