Menghadirkan sebuah film
mencekam dengan tetap mempedulikan detail-detail artistik adalah keahlian dari
sineas bernama Guillermo Del Toro. Dengan anugerahnya tersebut, Guillermo Del
Toro bisa menjadikan sebuah film horor naik satu tingkat dibanding dengan
film-film horor lainnya. Tak hanya dalam film-film horor, tetapi Guillermo Del
Toro tetap bisa mengarahkan film-film fantasi lainnya dengan kekhasan gaya
penyutradaraan darinya.
Bukti yang membuat Guillermo Del Toro menjadi salah satu sutradara yang berpengaruh hingga kini adalah kinerjanya dalam film Pan’s Labyrinth, Hellboy, dan belum lama ini dalam The Shape of Water. Dia berhasil menjadikan sebuah film yang penuh dengan makhluk-makhluk pembawa mimpi buruk namun menjadi sajian yang cantik.
Setelah terakhir kali menggarap film horor lewat Crimson Peak (2015), Guillermo
Del Toro kali ini kembali menghadirkan tontonan seram bertajuk Scary Stories to
Tell in the Dark. Kali ini ia bertindak sebagai produser merangkap penulis
naskah. Sedangkan kursi sutradara dipercayakan kepada André Øvredal, yang
sebelumnya membesut film horor The Autopsy of Jane Doe.
Berlatar belakang tahun 60-an, sekelompok remaja menghabiskan malam Halloween
dengan mengunjungi sebuah rumah angker. Tak dinyana, mereka justru menemukan sebuah
buku. Sebuah buku yang akan membuka tabir teror kepada mereka yang berani
membuka halaman per halamannya. Satu-persatu dari mereka pun harus berjuang
agar dapat lolos dari maut yang mengintai.
Mengikuti jejak film IT yang telah diadaptasi ke layar lebar dari novel karya Stephen King dengan judul yang sama, dan layaknya buku Goosebumps yang sering dibaca oleh anak-anak 90-an, Scary Stories to Tell in the Dark pun adalah kumpulan cerita horor karya penulis Alvin Schwartz yang melibatkan karakter anak-anak yang kini mendapat giliran diangkat ke dalam medium film.
Menjadikan kisah dengan setting mencekam menjadi sebuah film dengan sentuhan
drama bukan perkara yang lumrah sekaligus mudah. Tetapi, Guillermo Del Toro
bersama André Øvredal berhasil membuat hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar
dan mungkin untuk dibuat. Scary Stories to Tell in the Dark adalah pembuktian
bahwa dengan premis cerita sekuno apapun, Guillermo Del Toro tetaplah berhasil
menasbihkan diri sebagai sineas yang menjanjikan sekaligus berpengaruh di
industri perfilman Hollywood saat ini.
Seperti disinggung sebelumnya, Guillermo Del Toro memang dikenal dengan kemampuannya dalam menciptakan dunia reka-percaya yang fantastis, lengkap dengan berbagai makhluk ajaib dari dunia lain, dengan “mood”, “look”, dan “feel” yang khas. Hellboy misalnya, dibuat kental dengan signature-nya yang khas, dengan karakter, lansekap, dan cerita bergenre fantastis. Pun dengan film lainnya seperti “Pan’s Labyrinth” dan “The Shape of Water”.
Seperti disinggung sebelumnya, Guillermo Del Toro memang dikenal dengan kemampuannya dalam menciptakan dunia reka-percaya yang fantastis, lengkap dengan berbagai makhluk ajaib dari dunia lain, dengan “mood”, “look”, dan “feel” yang khas. Hellboy misalnya, dibuat kental dengan signature-nya yang khas, dengan karakter, lansekap, dan cerita bergenre fantastis. Pun dengan film lainnya seperti “Pan’s Labyrinth” dan “The Shape of Water”.
Dan dalam Scary Stories to Tell in The Dark, lagi-lagi nuansa khas Del Toro pun
mau tak mau hadir di film ini. Lihatlah sosok makhluk menyeramkan sekaligus
unik yang hadir di sini seperti Harold the Scarecrow, Pale Lady, dan Jangly
Man. Karakter-karakter tersebut sengaja diambil dari trilogi seri bukunya yang
paling terkenal, yakni Scary Stories to Tell in the Dark (1981), More Scary
Stories to Tell in the Dark (1984), dan Scary Stories 3: More Tales to Chill
Your Bones (1991). Buku yang konon menginspirasi Guillermo Del Toro dalam
menciptakan makhluk-makhluk ajaib sekaligus original di setiap karya-karya
filmnya.
Tempo bertutur milik Scary Stories to Tell in the Dark memang bisa dibilang cukup lambat. Paruh awal film dipenuhi dengan pembangunan masing-masing karakter yang begitu kuat. Sehingga, penonton bisa menaruh simpati kepada karakter-karakter yang ada di dalam film ini. Hingga semakin bertambahnya durasi, sang pembuat film makin menambahkan unsur-unsur misteri yang membuat penonton bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.
Detail artistik di dalam film ini pun menjadi poin penting yang sangat diperhatikan oleh si pembuatnya. Hal tersebut rupanya menjadi satu poin wajib di setiap film milik Del Toro. Scary Stories to Tell in the Dark berhasil memanjakan mata penontonnya lewat detail-detail menarik, seperti tata busana, permainan warna, dan terutama detail setting tahun 60-an yang sangat believable. Dengan beberapa aspek tersebut, André Øvredal yang dibantu Del Toro berhasil membangun suasana mencekam (sekaligus indah) meskipun penampakan atau jumpscares berbagai makhluk supranatural tak terlalu memiliki poin besar bagi kelangsungan film ini.
Poin plus lainnya dari film ini terletak di sepanjang konflik cerita serta
simbolisasi yang mendasari keseluruhan ide luar biasanya. Dari masalah bullying,
parenting, keluarga, persahabatan, cinta, isu rasial, anti-war hingga women’s
empowerment, semua bisa mengalir mulus dalam tiap titik penyampaiannya, serta
tak lupa pula menahan film ini untuk berada di jalur mutlak yang diperlukan
oleh sebuah blockbuster horor dalam permainan utamanya. Sebuah “adventurous
ride” penuh fantasi dengan kombinasi rasa, dari tawa hingga takut, jengah tapi
juga kerap membawa kita ke titik terenyuh untuk menyelami detail-detail konflik
tiap karakternya.
Dengan segala kreasi André Øvredal dan Guillermo Del Toro yang sangat visioner di dalam genre ini, Scary Stories to Tell in the Dark menjadi sebuah pengalaman menonton yang sangat mengesankan. Penggabungan beberapa isu atau tema di dalam film ini menjadikannya tak kehilangan arah, malah menjadi sebuah kekuatan di dalam filmnya. Guillermo Del Toro berhasil membangun cerita dan karakter yang kuat di dalam film ini. Dan hal tersebut berdampak bagi psikis penontonnya. Usai menonton, mereka akan tetap dihantui dan diusik lewat kisah horornya yang indah, sekaligus bernarasi kuat. [Sul]
Posting Komentar