Yofamedia.com, Jakarta - Dalam upaya restorasi ekosistem gambut di Indonesia, perempuan memiliki peran sentral. Perempuan memiliki potensi dan keunggulan yang unik untuk merawat dengan baik, dan peduli terhadap
lingkungan. Restorasi gambut pun dianggap tidak dapat berjalan tanpa partisipasi hakiki perempuan. Hal ini mengemuka dalam pandangan para peneliti dalam forum diskusi online bertajuk Perempuan di Lahan Gambut:
Menyoal Ekofeminisme dalam Restorasi Gambut.
Diselenggarakan pada 14 April 2020 lalu oleh Badan Restorasi Gambut dan LSM Kemitraan/Partnership, diskusi ini membahas potensi dan keunggulan perempuan dalam restorasi ekosistem gambut serta tantangan yang dihadapi. Diskusi menghadirkan pembicara yaitu Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Dr. Myrna A Safitri, akademisi Australian National University Dr. Ida Aju (Daju) Pradnja Resosudarmo, dosen dan peneliti Nanyang Technological University Singapura Dr. Janice Lee dan Dr. Yuti Ariani, Gender Specialist Kemitraan Catharina Indirastuti dan Dinamisator Desa Peduli Gambut BRG Enik Maslahah, M.Si.
Diskusi yang diikuti ratusan peneliti, dosen aktivis dan pendamping desa ini dipandu oleh Senior Advisor Kemitraan Eka Melisa.
Larangan Membakar Lahan Gambut dan Respon Perempuan Dr. Daju Resosudarmo dalam kesempatan itu memaparkan temuan awal risetnya di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Riset ini melihat pemahaman masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan gambut khususnya kebijakan larangan membakar lahan atau zero burning dan respon perempuan terhadapnya.
“Perempuan memiliki tingkat pemahaman yang sama dengan laki-laki tentang resiko kebakaran pada lahan gambut, yang kering di musim kemarau. Terkait larangan membakar lahan, mereka cenderung menerima adanya kebijakan ini, meski tidak berarti selalu setuju”, kata Daju.
Dalam pelaksanaan kegiatan pertanian tanpa bakar para perempuan di lahan gambut Kalteng mendapatkan tantangan. Salah satunya yaitu dibatasi atau ditiadakannya kegiatan pertanian komoditas tertentu, seperti padi, yang biasanya mengikutsertakan pembakaran lahan untuk menyuburkan lahan gambut tipis.
“Program-program untuk mengurangi ketergantungan rumah tangga pada pengunaan lahan gambut dengan cara yang tidak lestari dan atau mengubah kebiasaan rumah tangga supaya mengupayakan lahan gambut yang lebih lestari perlu diciptakan”, saran Daju.
Dr. Daju juga menyampaikan bahwa adanya kebijakan pelarangan membakar lahan menimbulkan inovasi dalam mencari jenis komoditas lain yang memungkinkan di lahan gambut. Ini dapat meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dari kerentanan ekonomi. Menanggapi temuan itu, Myrna menyampaikan bahwa kegiatan-kegiatan pemberdayaan ekonomi perempuan yang dilakukan BRG salah satunya juga untuk menjawab tantangan itu.
Diceritakan oleh Myrna pengalaman BRG mengembangkan ekonomi kreatif melalui anyaman purun dan pertanian alami dan tanpa bakar di pekarangan oleh kelompok tani perempuan. Hal ini adalah untuk
mengenalkan sumber ekonomi rumah tangga yang baru, yang berasal dari kekayaan lahan gambut.
Kerentanan dan Pendekatan Humanis Perempuan dalam Pencegahan Kebakaran
Peran perempuan yang sentral dalam upaya restorasi ekosistem gambut dikemukakan juga oleh Dr. Janice Lee. Dalam penelitian di Jambi dan Riau, ia menemukan bahwa penggunaan lahan gambut berkelanjutan di bidang agrikultur memiliki nilai ekonomi tinggi, dan perempuan menjadi bagian penting di dalamnya.
Dr. Yuti Ariani peneliti post-doktoral dari Nanyang Technological University Singapura menambahkan bahwa dalam penelitiannya bersama Dr. Lee, perempuan berperan dalam menghubungkan berbagai sistem sosial di masyarakat. Termasuk dalam proses restorasi. Dicontohkan kasus di desa Sinar Wajo di Jambi. Perempuan berperan juga dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Motor penggerak kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) di sana adalah perempuan yang kebetulan seorang guru. Ia mampu menghubungkan berbagai elemen masyarakat di desa. Di Sinar Wajo pula Yuti menemukan bahwa keberadaan pendamping perempuan berhasil meyakinkan masyarakat untuk mencegah kebakaran. Hal ini tidak lepas dari pendekatan humanis yang umumnya lebih luwes digunakan perempuan.
Perempuan memang rentan dalam peristiwa kebakaran hutan dan lahan. Catharina Indirastuti, yang akrab disapa Asti, menyoroti berbagai persoalan yang dihadapi perempuan ketika terjadi kebakaran. “Dimulai dari hilangnya akses sanitasi dan higienitas ketika ekosistem gambut rusak. Kekeringan parah pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan, melimitasi akses perempuan kepada kualitas hidup yang lebih baik”, kata Asti.
Nilai-nilai budaya dan kebiasaan juga hilang sejalan dengan hilangnya sumber daya alam di ekosistem gambut. Contohnya budaya mengelola anyaman purun di Kalimantan dan Sumatera hilang dan hanya dijalankan oleh generasi tua. Demikian pula sumber kehidupan dan kemandirian pangan para perempuan di lahan gambut juga terancam akibat adanya kebakaran.
Namun, upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam restorasi gambut masih mendapatkan kendala.
Yang pertama diakui oleh Myrna karena partisipasi masih bersifat prosedural. Lalu terdapat kesamaan kultur birokrasi dan masyarakat dimana kedua-duanya masih kuat menganut nilai patriarki. Tantangan ketiga menurut Myrna adalah relasi kuasa yang tidak berimbang.
“Perempuan tersingkir karena tidak dalam status dan posisi yang menentukan. Struktur sosial juga terkadang tidak memungkinkan perempuan mengakses kesempatan pemberdayaan yang telah diberikan BRG, “jelasnya.
Di tingkat tapak, berdasarkan studi kasus di Kalimantan Selatan yang disampaikan oleh Dinamisator DPG BRG Kalimantan Selatan Enik Maslahah, masih terdapat tantangan pada akses dan kontrol dalam sumber daya fisik maupun nonfisik yang mengakibatkan peran perempuan terlimitasi. Di banyak desa, laki-laki berperan besar mengatur dan mengontrol lahan pertanian, perkebunan dan perikanan, sehingga peran perempuan berada di level rendah atau pendukung. Laki-laki juga memiliki peran besar dalam mengatur pendidikan anak terutama anak perempuan.
“Perempuan masih memiliki peran yang sangat kecil terhadap pemanfataan ruang
musyawarah desa dan pengambilan kebijakan di desa,” kata Enik.
Untuk menjawab tantangan ini, BRG memiliki tiga strategi. Pertama adalah memilih arena yang tepat untuk mendukung partisipasi perempuan. Arena mana tidak membuat perempuan harus berkontestasi dengan laki-laki. Arena itu misalnya industri rumah tangga untuk kerajinan anyaman, produk pangan sehat dan pertanian pekarangan. Kedua, memberikan kesempatan kepada perempuan bukan dari kalangan elit desa untuk mengembangkan kemampuan. Yang ketiga adalah menggunakan kuasa positif elit untuk mendukung partisipasi perempuan. Akhirnya tetap perlu terus memberikan edukasi, informasi dan memperluas jejaring perempuan.
Bincang Online ini mendiskusikan bagaimana paradigma partisipasi perempuan dalam restorasi gambut seharusnya dilaksanakan. Penyadaran adil gender penting untuk memposisikan perempuan sebagai pelopor atau aktor setara dalam restorasi gambut. Pengarusutamaan restorasi gambut yang berperspektif adil gender dalam pembangunan menjadi tugas besar para aktor restorasi gambut pada semua level.
[Red]
Posting Komentar