Zoom Webinar ini di moderatori oleh Petrus Loyani, SH.,MH., MBA selaku pengacara dibidang perpajakan dan perbankan sekaligus Direktur Suara Bisnis dengan para narasumber seperti ; Ajib Hamdani (Ketua Bidang Keuangan & Perbankan HIPMI ), Bobby Adhityo Rizaldi (Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar), MayJen (Purn) Tatang Zaenuddin (Presiden Tani Indonesia), Fuad Bawazier (Menteri Keuangan Indonesia 1998), Rizal Ramli (Menteri Keuangan Indonesia 2001) dan Anthony Budiawan(Managing Director PEPS).
Dalam kesempatan pertama, Ajib Hamdani (Ketua Bidang Keuangan & Perbankan HIPMI ) memaparkan keadaan sistem keuangan di Indonesia saat ini. "Sistem keuangan perbankan Indonesia sendiri pemerintah sudah memberikan yang terbaik dengan adanya subsidi bunga yang mengacu pada UKM,"ujar Sang ketua Bidang Keuangan & Perbankan HIPMI pada saat Webinar.
"Masalah perekonomian bangsa terletak pada pengangguran, kemiskinan dan kesejangan ekonomi karena ekonomi Pancasila sendiri terletak pada suka ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ujar Ajib.
Ia juga menjelaskan bahwa pemerintah harus bisa menyempurnakan konsep pertumbuhan ekonomi di Indonesia. "Pemerintah harus lebih bisa menyempurnakan dari konsep pertumbuhan ekonomi yang luas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang meratakan diberbagai bidang," ungkap Ajib.
Disisi lain, Bobby Adhityo Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar mengatakan krisis kepercayaan Bangsa Indonesia berdampak kepada menurunnya kesadaran warga membayar pajak dan nilai-nilai pancasila dalam membayar pajak itu ada pada setiap butir-tuturnya, ujar Bobby.
"Sedangkan untuk anggaran pendapatan menjadi kebijakan umum yang sudah ada payung hukumnya sendiri dan untuk revolusi ekonomi itu sendiri ada dari pembiayaan luar negeri dengan bunga yang skematik," ungkap Bobby.
"Untuk pinjaman dari luar negeri sendiri kita memang sudah alokasi dananya untuk pembangunan ekonomi yang berumur 20 sampai 30 tahun," kata Bobby. Ia menjelaskan bahwa pembangunan di Indonesia sudah direncanakan dengan alokasi dana yang dirancangkan pemerintah dan dilaporkan selalu kepada pihak parlemen, sebagai bahan untuk segera mengesahkan rencana anggaran Pemerintah Indonesia kedepannya.
Mantan Menteri Ekonomi Rizal Ramli mengatakan dalam pemaparannya, menegaskan ekonomi nasional harus dikelola dan dijalankan berlandaskan ekonomi konstitusi yakni Pancasila dan UUD 1945 agar bangsa Indonesia berjaya.
“Ekonomi dari, dengan, dan untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Bukan ekonomi neoliberalisme yang menjadi pintu masuk neo kolonialisme baru. Konstitusi kita menegaskan bahwa jika rakyat Indonesia mau hidup sejahtera, maka selain rakyatnya, para pejabat pengelola negara juga harus memegang kokoh Pancasila,” ucap Rizal.
Selain itu, Rizal Ramli juga mengkritik keras rencana pemerintah yang bakal merilis kebijakan pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid II. Ia menyayangkan kebijakan yang sebelumnya pernah gagal menggenjot penerimaan negara di masa lampau kembali diterapkan. “Harusnya pemerintah memompa daya beli golongan menengah bawah, tapi kebijakan kemudahan dan pengurangan pajak untuk yang atas. Manfaat pajak itu dimainkan di pasar spekulatif. Agar perekonomian nasional meroket, sebaiknya berfokus memompa daya beli masyarakat bawah. Salah satunya bisa dengan menaikkan gaji PNS golongan rendah,” ucapnya.
Bapak Presiden Tani Indonesia yang resmi didaulat masyarakat pada 20 Mei 202, Mayjen TNI (purn) Tatang Zaenudin mengatakan; "Bahwa untuk mewujudkan ekonomi Pancasila dengan kerakyatan yang adil dan beradab jika tata kelola dalam artian gotong-royong secara bersama-sama di setiap wilayah provinsi Indonesia sudah sesuai Konsep keadilan ekonomi", ujar Tatang. "Disini saya bekerja sendiri dan non partai. Bertugas untuk membantu pemerintah dalam memajukan perekonomian bangsa untuk kesejahteraan dari masyarakatnya," kata Tatang.
"Saya bukan pakar ekonomi tetapi yang saya lakukan langsung berhubungan dengan masyarakat bekerja secara nyata dan bukan hanya sekedar wacana tetapi saya ingin Indonesia dapat kedaulatan pangan sedang dijalankan oleh kami saat ini," tuturnya.
Lain lagi pemaparan dari narasumber lainnya, mantan menteri keuangan diera akhir zaman Soeharto, Fuad Bawazier, mengatakan, dahulu pada era tahun 90-an ketika menjabat menteri keuanga di era orde baru, ia menurunkan tarif PPH nya itu dari 35 menjadi 30% dan itupun dengan target yang sudah terpampang yaitu menjadi 25% pada tahun 2000 yang tadi 25% menjadi turun. "Pada pasal 17 undang-undang PPH yang direvisi, sudah disebutkan dan ini akan tarifnya 20%, sudah cantumkan dalam undang-undang maka sekarang sebetulnya kalau balik lagi ya ke 35%, hal tersebut begitu luar biasa,” ujarnya mengkritisi banyak kebijakan pajak yang pemerintah lakukan saat ini. Dirinya mengatakan perlu ada realisasi kongkret nyata dalam menaikkan pendapatan dari sektor pajak,namun tidak memberatkan masyarakat luas.
Fuad Bawazier juga menjelaskan bursa saham bisa mendapatkan dividen, namun besarnya pajak, tidak membuat semua pihak menikmati."Gajinya yang biasa orang-orang kaya yang disebut kita bisa hitung profesional + 5% Tapi dengan menjadi 35%, itu saja yang serem banget, yang di Indonesia 35% itu tidak baik lagi. Ya, ini penting saya ingatkan supaya selama ini kalau durasi dari kebijakan fiskal yang pernah meleset terus itu sudah jangan terulang lagi. Buat 3 tahun perencanaan tambahkan pertumbuhannya dianggap berapa persen skenario. Saya yakin kebijakan lebih baik, bukan sekedar lagi cuma banyak kebijakan, tetapi bagaimana mengatasinya,tutur Fuad Bawazier.
Anthony Budiawan, managing director PEPS, menyebut bahwa kondisi riil ekonomi Indonesia saat ini cenderung melemah, itu ditandai lewat tiga indikator antara lain pajak penerimaan semakin menurun tiap tahunnya, rasio penerimaan pajak terhadap PDB merosot dan rasio pendapatan negara terhadap PDB juga turun.
“Saya mencatat persentase penerimaan pajak di tahun 2013 sebesar 9,9 % dan tahun 2014 6.5 %, sedangkan di tahun 2019 persentase penerimaan pajak kita hanya 1,8%. Turun sangat drastis. Ditambah lagi program tax amnesty tahun 2016 dan 2017 juga gagal. 2 tahun tersebut (2016 dan 2017) merupakan pertumbuhan pajak terendah bagi bangsa ini. Untuk rasio penerimaan pajak terhadap PDB turun 11,4 % (2014) menjadi hanya 9,8 % (2019), kemudian 8,3 % (2020) dan 7,3 % (Q1/2021). Terakhir untuk pendapatan negara terhadap juga turun yakni sekitar 15,4 % (2014) dan 12,4 % (2019), kemudian menurun menjadi 10,6 (2020) dan 9,5 % (Q1/2021),” ujarnya.
Dia juga mengungkapkan kondisi yang lain yakni ketahanan keuangan negara (fiskal) semakin rapuh, ditandai dengan rasio pajak turun sedangkan rasio beban bunga naik tajam.
“Sejujurnya kondisi negara Indonesia itu praktis bangkrut, ada defisit anggaran sebesar Rp. 1000 triliun lebih. Kemudian ada skema berbagi beban (burden sharing) antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah merupakan bentuk dana talangan (bailout) dari bank sentral. Burden sharing dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dana penanganan dampak pandemi covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemerintah membutuhkan bantuan dari BI dalam bentuk pembelian Surat Berharga Negara (SBN) untuk membiayai penanganan covid-19. Tapi, pemerintah mendapat keringanan dalam bentuk pembayaran bunga rendah. Jadi, kalau kita lihat BI sudah bailout pemerintah, ini menunjukkan pemerintah gagal bayar, sudah bangkrut. Jadi yang bermasalah adalah sektor fiskal,” pungkasnya.
Diharapkan dengan acara ini memberikan pandangan dan solusi yang terbaik bagi bangsa Indonesia, sehingga dengan semangat Pancasila dan Bhineka Tinggal Ika, sama-sama dapat membangin Bangsa ke arah yang lebih baik lagi. [Red]
Posting Komentar